Senin, 06 Oktober 2014

AGAMA, ADAT, RITUAL DAN TATA KOTA


A.      Agama
Mayoritas penduduk Pulau Morotai beragama Islam dan Kristen, sebagian kecil lainnya pemeluk agama, Budha dan Hindu.
NO
AGAMA
JUMLAH
PERSENTASE
1
Islam
38.678     Jiwa
59,85 %
2
Kristen
25.723     Jiwa
39,80 %
3
Katolik
214          Jiwa
0,33 %
4
Hindu
9               Jiwa
0,01 %
5
Budha
1               Jiwa
0,00 %
6
Lainnya
1               Jiwa
0,00 %
  Sumber : Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan, Data 2013

Daruba sebagai ibu kota Kabupaten Pulau Morotai sebagian besar penduduknya menganut agama Islam dan Kristen. Sebagai masyarakat yang taat beragama, masyarakat Kabupaten Pulau Morotai ikut merayakan dan melaksanakan acara-acara besar keagamaan seperti Idul Fitri, idul Adha, Maulid Nabi, dsb (Islam) dan Natal, Kenaikan Yesus Kristus, Paska, dsb (Kristen). Kerukunan antar umat beragama sangat dijunjung tinggi, dapat dilihat dari letak tata bangunan rumah ibadah yang berdampingan di Kabupaten Pulau Morotai.

B.       Adat dan Ritual
Adat dan Ritual merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan. Berikut adalah beberapa tradisi yang terdapat di Pulau Morotai diantaranya yaitu :

1.       Tradisi Cuci Kaki
Tradisi cuci kaki memiliki makna filosofis pembersihan/ penyucian. Tradisi ini dilakukan secara simbolis mencuci kaki dengan air saat hari-hari tertentu yaitu pada saat penjemputan tamu kehormatan dan pada saat selesai seluruh rangkaian acara perkawinan. Untuk cuci kaki acara perkawinan hanya dilakukan untuk mempelai wanita karena mempelai wanita (istri) telah keluar dari rumah orang tua untuk mengikuti mempelai pria (suami). Tradisi ini dilaukan dengan harapan perempuan yang sudah masuk dalam lingkar keluarga laki-laki memiliki hati yang bersih untuk memulai rumah tangga mereka di lingkungan keluarga laki-laki. Untuk mencuci kaki perempuan dalam tradisi ini hanya boleh dilakukan oleh anak gadis yang belum balik atau yang masih perawan sedangkan anak laki-laki tidak diperbolehkan, dengan didampingi orang tua yang bertugas memantra-mantra air dalam gelas lalu kemudian menyerahkannya kepada anak gadis untuk menyiram kaki perempuan tersebut. Tradisi ini sampai sekarang masih terlihat saat acara perkawinan di pulau Morotai yang memakai adat Galela.

2.       Tradisi Bungkus Tikar
Tradisi bungkus tikar adalah salah satu tradisi suku galela yang terjadi saat ronggeng adat (tari adat) tide-tide di setiap perayaan berlangsung. Tradisi bungkus tikar dimaksud agar orang yang dibalut dengan tikar mengetahui bahwa dialah yang dibebankan. dalam artian, dialah yang diharapkan memberikan semacam sumbangan atau bantuan terhadap pihak penyelenggara acara. Biasanya yang dibalut dengan tikar pada tradisi ini adalah tamu undangan yang berasal dari pemerintahan yang memiliki jabatan strategis, misalnya Bupati, Kabag, Kadis dan lain-lain dan atau yang dinilai oleh penyelenggara bahwa orang tersebut bisa memberikan sumbangan atau bantuan kepada pihak penyelenggara. Jika seseorang yang dibalut dengan tikar ingin memberikan bantuan berupa uang dan dia tidak membawa uang maka dapat diberikan kesempatan kapan yang bersangkutan bisa memenuhi kewajibannya sesuai dengan sebisanya. Dan jika seseorang yang dibalut tikar ingin memberikan uang tunai dan dia membawanya saat acara, maka bisa juga diberikan dalam bentuk “Tombong”  kepada pihak penyelenggara atau kalau dalam acara perkawinan berarti kepada kedua mempelai yang saat itu sedang mengikuti tarian tersebut dengan jumlah yang harus lebih banyak dari penari-penari yang lain.

3.         Tarian Cakalele (Tari Perang)
Tarian cakalele berasal dari daerah Maluku Utara, meski pada akhirnya menyebar sampai ke Maluku (Ambon) dan berbagai wilayah lainnya. Istilah Cakalele sudah ada sejak terbentuknya Maluku jaman dulunya, maka istilah ini sudah berumur sangatlah tua. Istilah cakalele sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Ternate. Di daerah lain misalnya Ambon namanya juga tidak berubah sehingga kadang membingungkan orang yang tidak tau sejarah sebenarnya. Banyak yang mengira tarian ini berasal dari Ambon. Namun kenyataannya tarian ini berasal dari Maluku Utara dan berasal dari bahasa Ternate. 
Tarian cakalele dikenal sebagai tari peperangan. Karena disinilah terletak kedigdayaan seorang lelaki, disini pula melambangkan keperkasaan para leluhur melalui symbol yang dibawa baik berupa pakaian atau senjata lainnya. Tarian ini juga melambangkan sebuah kekuatan besar dan keberanian dalam membela harga diri. Karena perang bukan terjadi karena satu penyebab saja namun karena banyak sebab. Intinya, peperangan akan terjadi karena pembelaan diri.
Cakalele berasal dari dua kosa kata yaitu Caka dan lele yang artinya Roh mengamuk. Maka arti cakalele secara harfiah adalah Roh atau Setan yang mengamuk. Dengan demikian atraksi cakalele adalah manusia yang kesurupan yang haus akan darah manusia. 
Di wilayah Kabupaten Pulau Morotai dan Maluku Utara pada umumnya, tarian cakalele biasanya dilakukan pada hari-hari perayaan tertentu yaitu, pentas seni budaya, selingan acara, penyambutan tamu kehormatan, penyambutan pengantin dan lain-lain. Tarian ini sedikit memiliki perbedaan antara suku Galela dan Tobelo, dimana suku Tobelo saat berputar dalam menari sampai pada 1800 (Penuh) sedangkan suku Galela 900 (½ lingkaran) dan pada alat music Galela memakai dua stik sedangkan Tobelo memakai satu stik. Alat musik yang dipakai pada tarian ini hanya dua jenis yaitu Tifa dan Gong (Tobelo dan Galela sama). Penari pada tarian ini umumnya memegang Parang (Pedang) dan Salawaku (Tameng) sebagai symbol dari alat perang yang terbuat dari kayu. Akan tetapi dalam kondisi tertentu sebagai pengganti symbol alat perang sering memakai daun ranting sebagai pengganti pedang dan benda (kayu) yang bisa di pegang sebagai pengganti tameng.

4.         Tide-Tide
Tarian tide-tide adalah tarian khas suku Tobelo dan Galela. Tarian ini umumnya lebih khusus untuk perempuan karena sebagai pelengkap dari tarian cakalele (untuk suku tobelo dan galela). Makna filosofis yang terkandung pada tarian ini adalah perempuan sebagai penyemangat kepada laki-laki yang nantinya akan berperang di medan tempur. Berdasarkan kondisi, tarian ini dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu :
4.1. Tide-Tide Sisi
Tide-tide sisi dipakai saat tarian cakalele berlangsung dimana tarian ini diperagakan oleh perempuan sebagai penyemangat laki-laki. Gerakan pada tide-tide ini berbeda dengan tide-tide lain karena di tarian ini perempuan diarahakn untuk mengelilingi laki-laki penari cakalele untuk memberi semangat.
4.2. Tide-Tide Jojaru dan Ngongare (Pemuda-pemudi)
Tide-tide jenis ini biasanya dilaksanakan pada saat perayaan pesta pernikahan. Penari terdiri dari laki-laki dan perempuan (pemuda-pemudi dan orang tua) yang saling berhadapan dan biasanya pengantin diposisikan di bagian tengah antara laki-laki dan perempuan. Pada saat menari, tradisi “tombong” diwajibkakn untuk laki-laki. Tradisi “tombong” adalah tradisi dimana laki-laki diwajibkan memberikan uang dengan jumlah yang tidak ditentukan (sukarela) kepada perempuan siapa saja yang dia inginkan. Pada tradisi ini, laki-laki yang belum berkeluarga (belum menikah) melakukan “tombong” pada perempuan yang belum menikah (gadis) maka berarti hal tersebut merupakan isyarat bahwa si laki-laki menyukai si perempuan dan siap untuk ditindaklanjuti oleh keluarga. Alat music yang digunakan pada tide-tide jenis ini adalah tifa dan biola buatan sendiri yang semestinya dimainkan manual oleh ahlinya. Hanya saja seiring dengan kemajuan teknologi, sekarang musiknya tidak dimainkan secara manual akan tetapi sudah memakai VCD begitu juga dengan tarian cakalele.
4.3. Tide-tide Pertunjukan
Tide-tide jenis ini biasanya di pakai saat pertunjukan atau pagelaran seni dan juga sering dipakai untuk menyambut tamu kehormatan dari luar daerah (pemerintah). Tide-tide ini yang sering dilombakan dengan sasaran penilaian yaitu pada tingkat kekompakan dll. Jenis ini mainkan (penari) terdiri laki-laki dan perempuan secara berkelompok dan telah dikolaborasi dengan berbagai macam gaya yang di pakai dan mengunakan kostum adat. Pada daerah tertentu yang tidak memiliki kostum adat biasanya laki-laki memakai baju kameja putih lengan panjang dengan celana hitam berlapis sarung sedangkan perempuan mengenakan kebaya dengan sarung serta memegang lenso.

5.         Tarian Sajojo Desa Aru Irian
Tarian ini hanya bisa dijumpai di desa Aru Irian Kec. Morotai Selatan Barat. Tarian ini biasa dipakai untuk acara-acara adat dan juga untuk menjemput para tamu kehormatan. Desa dengan jumlah penduduk ± 200 KK ini, menurut Bpk. Ikhlas (budayawan asal morotai) memiliki penghuni yang diduga berasal dari Pulau Irian Jaya oleh karenanya masyarakat di daerah ini bisa menari sajojo sekalipun sudah dikolaborasi dengan music Yanger (music khas suku tobelo). Kostum penari ini umumnya sama dengan kostum penari sajojo yang ada di Irian Jaya yaitu terbuat dari tali plastik yang telah diikat dan dihaluskan mengikuti postur tubuh. Tarian ini dilakukan secara berkelopok yang terdiri satu regu laki-laki dan satu regu perempuan.

6.         Tarian Samra
Menurut ketua adat Morotai Bpk. Hanis Usman, Tarian samra adalah merupakan tarian khas timur tengah (arab). Di Morotai tarian ini mula-mula masuk dari Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar saat itu sampai sekarang. Karena tarian ini berasal dari timur tengah maka tarian ini diperagakan saat perayaan hari-hari besar islam seperti maulid nabi, isra mi’raj dan hari-hari peringatan yang lain. Tarian ini dilakukan secara berkelompok antara laki-laki dan perempuan dan biasanya memakai kostum juba ala timur tengah. Karena perayaan hari-hari besar islam di desa-desa sudah mulai mengurang maka dengan sendirinya tarian ini juga jarang dijumpai akan tetapi pawang untuk bermain musik samra dari gambus (gitar kecil) sampai sekarang masih ada.

 

Selain adat dan ritual ada juga permainan adat tradisional. Permainan adat tradisional adalah permainan yang sudah ada dari jaman dahulu kala (tinggalan orang terdahulu), dimana alat-alat yang dipergunakan untuk bermain masih tradisional alias terbuat dari benda alam sekitar. Jika dilihat dari sisi manfaat, berbagai jenis permaianan tradisional, terlihatlah bahwa dari masing-masing permainan memiliki manfaat dan makna yang terkandung dalam berbagai jenis permainan. Akan tetapi, ada juga permainan yang sedikit mengancam keselamatan diri misalnya Dodorobe atau Dadale (dalam bahasa galela) dan Meriam Bulu (bambu) olehkarenanya sering ini dilarang oleh orang tua. Kalaupun itu dimainkan maka pastinya mendapat pengawasan khusus dari orang dewasa. Beberapa permainan rakyat tradisional yang terdapat di Pulau Morotai diantaranya adalah :

Dadale
Dodale adalah salah satu permainan rakyat Maluku Utara umumnya dan Pulau Morotai pada khususnya. Permainan dadale merupakan permainan bakutembak berkelompok menggunakan senjata yang terbuat dari cabang bambu dengan peluru dari buah kelapa tua atau buah jambu, tergantung musim atau yang paling banyak dijumpai.  Dadale berarti tembak-menembak, biasanya di mainkan oleh anak-anak dan remaja. Musiman permainan ini tidak menentu. Tapi sering banyak remaja yang memulai permainan ini saat mereka sudah melihat jambu air yang sudah berbuah. Penggunaan kelapa tua sebagai peluru di permainan ini karena sebagian anak yang merasa bahwa jambu air tidak sakit kalau kena musuh karena tidak keras.
Alat yang di gunakan terbuat dari ruas bambu yang lubang dalamnya maksimal garis tengah 1 cm. Pangkal ruasnya yang berbuku di pakai sebagai gagang bilah pendorong peluru seperti yang dapat di lihat pada gambar berikut dibawah ini :
Sedangkan cara memasang peluru dan menembak permainan senjata bambu ini adalah seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut di bawah ini :
Cara bermain permainan ini di pulau Morotai berbeda dengan daerah-daerah lain di Maluku Utara, di Morotai cara mainnya yaitu saling menyerang antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain sedangkan di daerah lain misalnya Ternate memakai garis pembatas antara dua kelompok yang bermain. Pemain terdiri atas dua kelompok, masing-masing lima orang. Keduanya berhadapan dengan jarak 2 m dan jarak ke belakang dari kelompok tersebut 3 m sebagai garis penalti (garis mati). Apabila salah satu anggota kelompok ketika di serang lawan mundur melewati garis mati, maka ia di nyatakan gugur (tidak lagi turut bermain), tinggal anggota yang tersisa yang melanjutkan permainan sampai di nyatakan juri selesai. Kelompok penyerang tidak di perkenankan memasuki garis mati. Kalau demikian, ia di beri peringatan, dengan cara di berikan kartu kuning. Kelompok di nyatakan menang apabila ia tidak mundur sampai ke garis mati atau sisa kawannya masih lebih banyak ketika juri mengisyaratkan waktu bermain telah habis.

Meriam Bulu (bambu)
Meriam bulu adalah permainan rakyat Maluku Utara pada umumnya, dan di Morotai juga terdapat permainan ini. Permainan meriam bulu adalah mimesis dari peperangan jaman dahulu, bahwa daerah Maluku Utara adalah bagian dari sejarah perjuangan bangsa dalam mengusir penjajah saat dahulu kala. Oleh karenanya meriam dijadikan sebagai salah satu permainan rakyat yang sampai sekarang masih dimainkan oleh remaja bahkan sampai kalangan orang tua. Meriam bulu di Morotai bahkan pada umumnya di Maluku Utara dimainkan saat malam Lailatulkadar (3 hari menjelang idhul fitri) sampai pada lebaran idhul fitri.
Alat yang digunakan pada permainan ini adalah terbuat dari ruas bambu besar dengan panjang sekitar ± 150 Centimeter (tergantung panjang ruas bambu, biasanya 4 ruas) dan pangkal ruas bambu bagian dalam dibuka kemudian bagian bawah/belakang pangkal ruas bambu dibiarkan agar minyak tanah dan ledakan api bisa mengarah ke depan, bagian bawah/belakang pangkal ruas bambu diberi lubang sekitar ± 1 centimeter berjarak ± 8 centimeter dari ruas bawah/belakang bambu yang dibiarkan/tidak dibuka seperti terlihat pada gambar dibawah ini :
Permainan meriam bulu (bambu) ini biasanya dimainkan secara berkelompok antara lingkungan yang satu dengan lingkungan yang lain sebagai bentuk dari peperangan seperti terlihat pada gambar di bawah ini :
Cenge-cenge
Seperti halnya daerah-daerah yang lain, permainan cenge-cenge juga termasuk salah satu permainan rakyat tradisional yang banyak digemari oleh anak-anak pulau Morotai. Permainan yang banyak melompat ini diminati anak-anak karena cara membuat permainan ini praktis, cukup dengan batu atau sebilah kayu untuk menggaris di bidang tanah yang datar dan batu plat atau sisa potongan papan yang kecil untuk batu gaco (penanda) anak-anak sudah bisa bermain. Permainan ini dimainkan secara perorangan dan biasanya paling banyak 5 orang yang bermain, saling bersaing untuk memperbanyak daerah aman untuk melompat seperti terlihat pada gambar dibawah ini :
 Sesem
Permainan ini juga dapat dijumpai di Pulau Morotai, permainan ini di mainkan oleh 2 kelompok yang terdiri lebih dari 5 orang (tergantung dari panjangnya garis yang di sepakati). Peraturan permainannya adalah orang yang menjaga pertahanan tepat di lima garis yang berlainan arah dan merentangkan tangan mencoba menyentuh lawannya untuk mengurung lawan tersebut di dalam garis untuk memenangkan pertandingan sampai setiap anggota lawan terkumpul di dalam garis yang berbentuk lima garis. Dan hal itu terjadi berulang-ulang untuk berusaha memenangkan permainan. Kelompok yang bertugas sebagai penjaga, harus memilih satu orang sebagai penjaga garis depan. Biasanya dipilih orang yang lebih kuat secara fisik dari semuanya dalam kelompok karena nantinya akan menjaga garis depan dan garis poros seperti terlihat pada gambar dibawah ini :
Setiap kelompok dinyatakan menang apabila jika salah satu dari lima orang (satu kelompok), berhasil balik ke titik finish tanpa disentuh oleh penjaga (lawan). Permainan ini biasa di mainkan pada bulan suci Ramadhan setelah selesai makan sahur dan untuk di Pulau Morotai khususnya di desa Daeo Kec. Morotai Selatan, dahulu permainan ini sering dimainkan di pantai (diatas pasir) pada malam hari saat bulan purnama (terang) akan tetapi sekarang sudah tidak lagi karena pesisir pantai sudah dibangun talud untuk menahan gelombang berlebihan.

C.       Tata Kota
Dengan terbentuknya Kabupaten Pulau Morotai Sebagai pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara, berdasarkan Undang-undang Nomor 53 Tahun 2008 maka diperlukan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Pulau Morotai sebagai pedoman pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pulau Morotai merupakan arahan pelaksanaan pembangunan dan payung kebijakan dalam rangka pemanfaatan dan pengendalian ruang.
Dasar pertimbangan utama dalam penyusunan rencana pola ruang Kabupaten Pulau Morotai adalah visi penataan ruang yang berbasis ekosistem pulau kecil, pulau terluar dan wilayah perbatasan negara. Pada proses penyusunan RTRW Kabupaten Pulau Morotai berkembang pemikiran tentang :
1.       Mendorong bertumbuhnya pusat perekonomian baru berbasis usaha produksi perikanan laut dan industri pengolahan perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya, serta pengembangan serta usaha kecil.
2.       Mengendalikan laju aliran permukaan (run off) pada saat musim hujan dan kualitas air permukaan saat musim kemarau dengan mempertahankan tutupan vegetasi permanen baik dikawasan lindung maupun dikawasan budidaya terbatas.
3.       Melakukan perubahan fungsi dan peruntukkan kawasan hutan dengan mempertimbangkan daya dukung ekosistem pulau kecil untuk mengakomodir kebutuhan lahan dimasa yang akan datang (20 tahun mendatang) sebagai Kabupaten baru dari kondisi saat ini yang hampir seluruh kawasan beruba kawasan hutan.
4.       Melakukan Mitigasi terhadap bencana alam khususnya gempa dan tsunami, terutama pada kawasan pemukiman yang terkosentrasi diwilayah pesisir.
Dengan pertimbangan tersebut, serta memperhatikan kebijakan penataan ruang nasional (RTRWN), RTRW Propinsi Maluku Utara maka rencana pola ruang Kabupaten Pulau Morotai yaitu :
1.       Kawasan Lindung.
2.       Rencan pola ruang Kawasan Budidaya terbatas, dan
3.       Rencana pola ruang Kawasan Budidaya Intensif.
Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Kabupaten Pulau Morotai ini juga telah ditetapkan beberapa Kawasan Strategis. Adapun yang dimaksud dengan kawasan strategis Kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh yang cukup penting dalam lingkup Kabupaten/ Kota terhadap pengembangan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Kawasan strategis yang terdapat di Kabupaten Pulau Morotai direncanakan ada lima, yaitu :
1.       Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tilei sebagai Kawasan Strategis Kabupaten
2.       Kawasan Strategis Nasional Daruba, sebagai Kawasan Strategis Nasional
3.       Kota Terpadu Mandiri (KTM) Dehegila sebagai kawasan strategis Kabupaten
4.       Kawasan Megaminapolitan Bere-bere sebagai Kawasan Strategis Nasional, dan
5.       Kawasan Navi Base sebagai kawasan strategis Kabupaten.
Rencana tata ruang dan kota wilayah Kabupaten ini menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam memanfaatkan ruang serta dalam penyusunan program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan rencana tata ruang Kabupaten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar