A.
Agama
Mayoritas penduduk Pulau
Morotai beragama Islam dan Kristen, sebagian kecil lainnya pemeluk agama, Budha
dan Hindu.
NO
|
AGAMA
|
JUMLAH
|
PERSENTASE
|
1
|
Islam
|
38.678 Jiwa
|
59,85 %
|
2
|
Kristen
|
25.723 Jiwa
|
39,80 %
|
3
|
Katolik
|
214 Jiwa
|
0,33 %
|
4
|
Hindu
|
9 Jiwa
|
0,01 %
|
5
|
Budha
|
1 Jiwa
|
0,00 %
|
6
|
Lainnya
|
1 Jiwa
|
0,00 %
|
Sumber :
Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan, Data 2013
Daruba
sebagai ibu kota Kabupaten Pulau Morotai sebagian besar penduduknya menganut
agama Islam dan Kristen. Sebagai masyarakat yang taat beragama, masyarakat
Kabupaten Pulau Morotai ikut merayakan dan melaksanakan acara-acara besar
keagamaan seperti Idul Fitri, idul Adha, Maulid Nabi, dsb (Islam) dan Natal,
Kenaikan Yesus Kristus, Paska, dsb (Kristen). Kerukunan antar umat beragama
sangat dijunjung tinggi, dapat dilihat dari letak tata bangunan rumah ibadah
yang berdampingan di Kabupaten Pulau Morotai.
B.
Adat
dan Ritual
Adat dan Ritual merupakan
gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan
dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh
kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi
kebiasaan. Berikut adalah beberapa tradisi yang terdapat di Pulau Morotai diantaranya
yaitu :
1.
Tradisi Cuci Kaki
Tradisi cuci kaki
memiliki makna filosofis pembersihan/ penyucian. Tradisi ini dilakukan secara
simbolis mencuci kaki dengan air saat hari-hari tertentu yaitu pada saat
penjemputan tamu kehormatan dan pada saat selesai seluruh rangkaian acara
perkawinan. Untuk cuci kaki acara perkawinan hanya dilakukan untuk mempelai
wanita karena mempelai wanita (istri) telah keluar dari rumah orang tua untuk
mengikuti mempelai pria (suami). Tradisi ini dilaukan dengan harapan perempuan
yang sudah masuk dalam lingkar keluarga laki-laki memiliki hati yang bersih
untuk memulai rumah tangga mereka di lingkungan keluarga laki-laki. Untuk
mencuci kaki perempuan dalam tradisi ini hanya boleh dilakukan oleh anak gadis
yang belum balik atau yang masih perawan sedangkan anak laki-laki tidak
diperbolehkan, dengan didampingi orang tua yang bertugas memantra-mantra air
dalam gelas lalu kemudian menyerahkannya kepada anak gadis untuk menyiram kaki
perempuan tersebut. Tradisi ini sampai sekarang masih terlihat saat acara
perkawinan di pulau Morotai yang memakai adat Galela.
2.
Tradisi Bungkus Tikar
Tradisi bungkus tikar adalah
salah satu tradisi suku galela yang terjadi saat ronggeng adat (tari adat)
tide-tide di setiap perayaan berlangsung. Tradisi bungkus tikar dimaksud agar
orang yang dibalut dengan tikar mengetahui bahwa dialah yang dibebankan. dalam
artian, dialah yang diharapkan memberikan semacam sumbangan atau bantuan
terhadap pihak penyelenggara acara. Biasanya yang dibalut dengan tikar pada
tradisi ini adalah tamu undangan yang berasal dari pemerintahan yang memiliki
jabatan strategis, misalnya Bupati, Kabag, Kadis dan lain-lain dan atau yang
dinilai oleh penyelenggara bahwa orang tersebut bisa memberikan sumbangan atau
bantuan kepada pihak penyelenggara. Jika seseorang yang dibalut dengan tikar
ingin memberikan bantuan berupa uang dan dia tidak membawa uang maka dapat
diberikan kesempatan kapan yang bersangkutan bisa memenuhi kewajibannya sesuai
dengan sebisanya. Dan jika seseorang yang dibalut tikar ingin memberikan uang
tunai dan dia membawanya saat acara, maka bisa juga diberikan dalam
bentuk “Tombong” kepada pihak penyelenggara atau kalau
dalam acara perkawinan berarti kepada kedua mempelai yang saat itu sedang
mengikuti tarian tersebut dengan jumlah yang harus lebih banyak dari
penari-penari yang lain.
3.
Tarian Cakalele (Tari Perang)
Tarian cakalele berasal dari
daerah Maluku Utara, meski pada akhirnya menyebar sampai ke Maluku (Ambon) dan
berbagai wilayah lainnya. Istilah Cakalele sudah ada sejak terbentuknya Maluku
jaman dulunya, maka istilah ini sudah berumur sangatlah tua. Istilah cakalele
sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Ternate. Di daerah lain misalnya Ambon
namanya juga tidak berubah sehingga kadang membingungkan orang yang tidak tau
sejarah sebenarnya. Banyak yang mengira tarian ini berasal dari Ambon. Namun
kenyataannya tarian ini berasal dari Maluku Utara dan berasal dari bahasa
Ternate.
Tarian cakalele dikenal sebagai
tari peperangan. Karena disinilah terletak kedigdayaan seorang lelaki, disini
pula melambangkan keperkasaan para leluhur melalui symbol yang dibawa baik
berupa pakaian atau senjata lainnya. Tarian ini juga melambangkan sebuah
kekuatan besar dan keberanian dalam membela harga diri. Karena perang bukan
terjadi karena satu penyebab saja namun karena banyak sebab. Intinya,
peperangan akan terjadi karena pembelaan diri.
Cakalele berasal dari dua kosa
kata yaitu Caka dan lele yang artinya Roh mengamuk. Maka arti cakalele secara
harfiah adalah Roh atau Setan yang mengamuk. Dengan demikian atraksi cakalele
adalah manusia yang kesurupan yang haus akan darah manusia.
Di wilayah Kabupaten Pulau Morotai dan
Maluku Utara pada umumnya, tarian cakalele biasanya dilakukan pada hari-hari
perayaan tertentu yaitu, pentas seni budaya, selingan acara, penyambutan tamu
kehormatan, penyambutan pengantin dan lain-lain. Tarian ini sedikit memiliki
perbedaan antara suku Galela dan Tobelo, dimana suku Tobelo saat berputar dalam
menari sampai pada 1800 (Penuh)
sedangkan suku Galela 900 (½
lingkaran) dan pada alat music Galela memakai dua stik sedangkan Tobelo memakai
satu stik. Alat musik yang dipakai pada tarian ini hanya dua jenis yaitu Tifa
dan Gong (Tobelo dan Galela sama). Penari pada tarian ini umumnya memegang
Parang (Pedang) dan Salawaku (Tameng) sebagai symbol dari alat perang yang
terbuat dari kayu. Akan tetapi dalam kondisi tertentu sebagai pengganti symbol
alat perang sering memakai daun ranting sebagai pengganti pedang dan benda
(kayu) yang bisa di pegang sebagai pengganti tameng.
4.
Tide-Tide
Tarian tide-tide adalah tarian
khas suku Tobelo dan Galela. Tarian ini umumnya lebih khusus untuk perempuan
karena sebagai pelengkap dari tarian cakalele (untuk suku tobelo dan galela).
Makna filosofis yang terkandung pada tarian ini adalah perempuan sebagai
penyemangat kepada laki-laki yang nantinya akan berperang di medan tempur.
Berdasarkan kondisi, tarian ini dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu :
4.1. Tide-Tide
Sisi
Tide-tide sisi dipakai saat
tarian cakalele berlangsung dimana tarian ini diperagakan oleh perempuan
sebagai penyemangat laki-laki. Gerakan pada tide-tide ini berbeda dengan
tide-tide lain karena di tarian ini perempuan diarahakn untuk mengelilingi
laki-laki penari cakalele untuk memberi semangat.
4.2. Tide-Tide
Jojaru dan Ngongare (Pemuda-pemudi)
Tide-tide jenis ini biasanya
dilaksanakan pada saat perayaan pesta pernikahan. Penari terdiri dari laki-laki
dan perempuan (pemuda-pemudi dan orang tua) yang saling berhadapan dan biasanya
pengantin diposisikan di bagian tengah antara laki-laki dan perempuan. Pada
saat menari, tradisi “tombong” diwajibkakn untuk laki-laki. Tradisi “tombong”
adalah tradisi dimana laki-laki diwajibkan memberikan uang dengan jumlah yang
tidak ditentukan (sukarela) kepada perempuan siapa saja yang dia inginkan. Pada
tradisi ini, laki-laki yang belum berkeluarga (belum menikah) melakukan
“tombong” pada perempuan yang belum menikah (gadis) maka berarti hal tersebut
merupakan isyarat bahwa si laki-laki menyukai si perempuan dan siap untuk
ditindaklanjuti oleh keluarga. Alat music yang digunakan pada tide-tide jenis
ini adalah tifa dan biola buatan sendiri yang semestinya dimainkan manual oleh
ahlinya. Hanya saja seiring dengan kemajuan teknologi, sekarang musiknya tidak
dimainkan secara manual akan tetapi sudah memakai VCD begitu juga dengan tarian
cakalele.
4.3. Tide-tide Pertunjukan
Tide-tide jenis ini biasanya di
pakai saat pertunjukan atau pagelaran seni dan juga sering dipakai untuk
menyambut tamu kehormatan dari luar daerah (pemerintah). Tide-tide ini yang
sering dilombakan dengan sasaran penilaian yaitu pada tingkat kekompakan dll.
Jenis ini mainkan (penari) terdiri laki-laki dan perempuan secara berkelompok
dan telah dikolaborasi dengan berbagai macam gaya yang di pakai dan mengunakan
kostum adat. Pada daerah tertentu yang tidak memiliki kostum adat biasanya
laki-laki memakai baju kameja putih lengan panjang dengan celana hitam berlapis
sarung sedangkan perempuan mengenakan kebaya dengan sarung serta memegang
lenso.
5.
Tarian Sajojo Desa Aru Irian
Tarian ini hanya bisa dijumpai di
desa Aru Irian Kec. Morotai Selatan Barat. Tarian ini biasa dipakai untuk acara-acara
adat dan juga untuk menjemput para tamu kehormatan. Desa dengan jumlah penduduk
± 200 KK ini, menurut Bpk. Ikhlas (budayawan asal morotai) memiliki
penghuni yang diduga berasal dari Pulau Irian Jaya oleh karenanya masyarakat di
daerah ini bisa menari sajojo sekalipun sudah dikolaborasi dengan music
Yanger (music khas suku tobelo). Kostum penari ini umumnya sama
dengan kostum penari sajojo yang ada di Irian Jaya yaitu terbuat dari tali
plastik yang telah diikat dan dihaluskan mengikuti postur tubuh. Tarian ini
dilakukan secara berkelopok yang terdiri satu regu laki-laki dan satu regu
perempuan.
6.
Tarian Samra
Menurut ketua adat Morotai Bpk.
Hanis Usman, Tarian samra adalah merupakan tarian khas timur tengah (arab). Di
Morotai tarian ini mula-mula masuk dari Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar
saat itu sampai sekarang. Karena tarian ini berasal dari timur tengah maka
tarian ini diperagakan saat perayaan hari-hari besar islam seperti maulid nabi,
isra mi’raj dan hari-hari peringatan yang lain. Tarian ini dilakukan secara
berkelompok antara laki-laki dan perempuan dan biasanya memakai kostum juba ala
timur tengah. Karena perayaan hari-hari besar islam di desa-desa sudah mulai
mengurang maka dengan sendirinya tarian ini juga jarang dijumpai akan tetapi
pawang untuk bermain musik samra dari gambus (gitar kecil) sampai sekarang
masih ada.
Selain adat dan ritual ada juga
permainan adat tradisional. Permainan adat tradisional adalah permainan yang
sudah ada dari jaman dahulu kala (tinggalan orang terdahulu), dimana alat-alat
yang dipergunakan untuk bermain masih tradisional alias terbuat dari benda alam sekitar.
Jika dilihat dari sisi manfaat, berbagai jenis permaianan tradisional,
terlihatlah bahwa dari masing-masing permainan memiliki manfaat dan makna yang
terkandung dalam berbagai jenis permainan. Akan
tetapi, ada juga permainan yang sedikit mengancam keselamatan diri misalnya
Dodorobe atau Dadale (dalam bahasa galela) dan Meriam Bulu (bambu)
olehkarenanya sering ini dilarang oleh orang tua. Kalaupun itu dimainkan maka
pastinya mendapat pengawasan khusus dari orang dewasa. Beberapa permainan rakyat tradisional
yang terdapat di Pulau Morotai diantaranya adalah :
Dadale
Dodale adalah salah satu permainan
rakyat Maluku Utara umumnya dan Pulau Morotai pada khususnya. Permainan dadale
merupakan permainan bakutembak berkelompok menggunakan senjata yang terbuat
dari cabang bambu dengan peluru dari buah kelapa tua atau buah jambu,
tergantung musim atau yang paling banyak dijumpai. Dadale berarti tembak-menembak,
biasanya di mainkan oleh anak-anak dan remaja. Musiman permainan ini tidak
menentu. Tapi sering banyak remaja yang memulai permainan ini saat mereka sudah
melihat jambu air yang sudah berbuah. Penggunaan kelapa tua sebagai peluru di
permainan ini karena sebagian anak yang merasa bahwa jambu air tidak sakit
kalau kena musuh karena tidak keras.
Alat yang di gunakan terbuat dari
ruas bambu yang lubang dalamnya maksimal garis tengah 1 cm. Pangkal ruasnya
yang berbuku di pakai sebagai gagang bilah pendorong peluru seperti yang dapat
di lihat pada gambar berikut dibawah ini :
Sedangkan cara memasang peluru dan
menembak permainan senjata bambu ini adalah seperti yang dapat dilihat pada
gambar berikut di bawah ini :
Cara bermain permainan ini di pulau Morotai
berbeda dengan daerah-daerah lain di Maluku Utara, di Morotai cara mainnya
yaitu saling menyerang antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain
sedangkan di daerah lain misalnya Ternate memakai garis pembatas antara dua
kelompok yang bermain. Pemain terdiri atas dua kelompok, masing-masing lima
orang. Keduanya berhadapan dengan jarak 2 m dan jarak ke belakang dari kelompok
tersebut 3 m sebagai garis penalti (garis mati). Apabila salah satu anggota
kelompok ketika di serang lawan mundur melewati garis mati, maka ia di nyatakan
gugur (tidak lagi turut bermain), tinggal anggota yang tersisa yang melanjutkan
permainan sampai di nyatakan juri selesai. Kelompok penyerang tidak di
perkenankan memasuki garis mati. Kalau demikian, ia di beri peringatan, dengan
cara di berikan kartu kuning. Kelompok di nyatakan menang apabila ia tidak
mundur sampai ke garis mati atau sisa kawannya masih lebih banyak ketika juri
mengisyaratkan waktu bermain telah habis.
Meriam Bulu (bambu)
Meriam bulu adalah permainan rakyat
Maluku Utara pada umumnya, dan di Morotai juga terdapat permainan ini.
Permainan meriam bulu adalah mimesis dari peperangan jaman dahulu, bahwa daerah
Maluku Utara adalah bagian dari sejarah perjuangan bangsa dalam mengusir
penjajah saat dahulu kala. Oleh karenanya meriam dijadikan sebagai salah satu
permainan rakyat yang sampai sekarang masih dimainkan oleh remaja bahkan sampai
kalangan orang tua. Meriam bulu di Morotai bahkan pada umumnya di Maluku Utara
dimainkan saat malam Lailatulkadar (3
hari menjelang idhul fitri) sampai pada lebaran idhul fitri.
Alat yang digunakan pada permainan
ini adalah terbuat dari ruas bambu besar dengan panjang sekitar ± 150
Centimeter (tergantung panjang ruas bambu, biasanya 4 ruas) dan pangkal ruas
bambu bagian dalam dibuka kemudian bagian bawah/belakang pangkal ruas bambu
dibiarkan agar minyak tanah dan ledakan api bisa mengarah ke depan, bagian
bawah/belakang pangkal ruas bambu diberi lubang sekitar ± 1 centimeter berjarak
± 8 centimeter dari ruas bawah/belakang bambu yang dibiarkan/tidak dibuka
seperti terlihat pada gambar dibawah ini :
Permainan meriam
bulu (bambu) ini biasanya dimainkan secara berkelompok antara lingkungan yang
satu dengan lingkungan yang lain sebagai bentuk dari peperangan seperti
terlihat pada gambar di bawah ini :
Cenge-cenge
Seperti halnya daerah-daerah yang
lain, permainan cenge-cenge juga termasuk salah satu permainan rakyat
tradisional yang banyak digemari oleh anak-anak pulau Morotai. Permainan yang
banyak melompat ini diminati anak-anak karena cara membuat permainan ini
praktis, cukup dengan batu atau sebilah kayu untuk menggaris di bidang tanah
yang datar dan batu plat atau sisa potongan papan yang kecil untuk batu gaco
(penanda) anak-anak sudah bisa bermain. Permainan ini dimainkan secara
perorangan dan biasanya paling banyak 5 orang yang bermain, saling bersaing
untuk memperbanyak daerah aman untuk melompat seperti terlihat pada gambar
dibawah ini :
Sesem
Permainan ini juga dapat dijumpai di
Pulau Morotai, permainan ini di mainkan oleh 2 kelompok yang terdiri lebih dari
5 orang (tergantung dari panjangnya garis yang di sepakati). Peraturan
permainannya adalah orang yang menjaga pertahanan tepat di lima garis yang
berlainan arah dan merentangkan tangan mencoba menyentuh lawannya untuk mengurung
lawan tersebut di dalam garis untuk memenangkan pertandingan sampai setiap
anggota lawan terkumpul di dalam garis yang berbentuk lima garis. Dan hal itu
terjadi berulang-ulang untuk berusaha memenangkan permainan. Kelompok yang
bertugas sebagai penjaga, harus memilih satu orang sebagai penjaga garis depan.
Biasanya dipilih orang yang lebih kuat secara fisik dari semuanya dalam
kelompok karena nantinya akan menjaga garis depan dan garis poros seperti
terlihat pada gambar dibawah ini :
Setiap kelompok dinyatakan menang
apabila jika salah satu dari lima orang (satu kelompok), berhasil balik ke
titik finish tanpa disentuh oleh penjaga (lawan). Permainan ini biasa di
mainkan pada bulan suci Ramadhan setelah selesai makan sahur dan untuk di Pulau
Morotai khususnya di desa Daeo Kec. Morotai Selatan, dahulu permainan ini
sering dimainkan di pantai (diatas pasir) pada malam hari saat bulan purnama
(terang) akan tetapi sekarang sudah tidak lagi karena pesisir pantai sudah
dibangun talud untuk menahan gelombang berlebihan.
C.
Tata
Kota
Dengan
terbentuknya Kabupaten Pulau Morotai Sebagai pemekaran dari Kabupaten Halmahera
Utara, berdasarkan Undang-undang Nomor 53 Tahun 2008 maka diperlukan rencana
tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Pulau Morotai sebagai pedoman pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Pulau Morotai merupakan arahan pelaksanaan pembangunan dan payung kebijakan
dalam rangka pemanfaatan dan pengendalian ruang.
Dasar pertimbangan
utama dalam penyusunan rencana pola ruang Kabupaten Pulau Morotai adalah visi
penataan ruang yang berbasis ekosistem pulau kecil, pulau terluar dan wilayah
perbatasan negara. Pada proses penyusunan RTRW Kabupaten Pulau Morotai
berkembang pemikiran tentang :
1.
Mendorong
bertumbuhnya pusat perekonomian baru berbasis usaha produksi perikanan laut dan
industri pengolahan perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya, serta pengembangan
serta usaha kecil.
2.
Mengendalikan
laju aliran permukaan (run off) pada
saat musim hujan dan kualitas air permukaan saat musim kemarau dengan
mempertahankan tutupan vegetasi permanen baik dikawasan lindung maupun
dikawasan budidaya terbatas.
3.
Melakukan
perubahan fungsi dan peruntukkan kawasan hutan dengan mempertimbangkan daya
dukung ekosistem pulau kecil untuk mengakomodir kebutuhan lahan dimasa yang
akan datang (20 tahun mendatang) sebagai Kabupaten baru dari kondisi saat ini
yang hampir seluruh kawasan beruba kawasan hutan.
4.
Melakukan
Mitigasi terhadap bencana alam khususnya gempa dan tsunami, terutama pada
kawasan pemukiman yang terkosentrasi diwilayah pesisir.
Dengan pertimbangan
tersebut, serta memperhatikan kebijakan penataan ruang nasional (RTRWN), RTRW
Propinsi Maluku Utara maka rencana pola ruang Kabupaten Pulau Morotai yaitu :
1.
Kawasan Lindung.
2.
Rencan pola ruang
Kawasan Budidaya terbatas, dan
3.
Rencana pola
ruang Kawasan Budidaya Intensif.
Dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang Kabupaten Pulau Morotai ini juga telah ditetapkan beberapa
Kawasan Strategis. Adapun yang dimaksud dengan kawasan strategis Kabupaten
adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh
yang cukup penting dalam lingkup Kabupaten/ Kota terhadap pengembangan ekonomi,
sosial, budaya dan lingkungan. Kawasan strategis yang terdapat di Kabupaten
Pulau Morotai direncanakan ada lima, yaitu :
1.
Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) Tilei sebagai Kawasan Strategis Kabupaten
2.
Kawasan Strategis
Nasional Daruba, sebagai Kawasan Strategis Nasional
3.
Kota Terpadu
Mandiri (KTM) Dehegila sebagai kawasan strategis Kabupaten
4.
Kawasan
Megaminapolitan Bere-bere sebagai Kawasan Strategis Nasional, dan
5.
Kawasan Navi Base sebagai kawasan strategis
Kabupaten.
Rencana tata ruang dan
kota wilayah Kabupaten ini menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk
menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam memanfaatkan ruang serta dalam
penyusunan program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di
daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi
pengarahan pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan
pembangunan selalu sesuai dengan rencana tata ruang Kabupaten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar